Melihat Koleksi Lukisan Istana Kepresidenan dari Dekat

By Admin

nusakini.com-- Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan di Galeri Nasional Indonesia pada tahun ini mengusung tema “Senandung Ibu Pertiwi”. Sebanyak 48 lukisan yang dipamerkan menampilkan obyek berupa pemandangan alam, fenomena kehidupan sehari-hari serta berbagai kegiatan masyarakat di segenap kepulauan Nusantara. Ibu Pertiwi adalah gambar bijak bestari bangsa yang dihidupkan sebagai sosok, sebuah imajinasi dan metafora femininitas penuh kasih, penjaga, dan pelindung bagi semua.  

  Dalam pameran ini tim kurator dari Galeri Nasional Indonesia tidak hanya menampilkan pilihan karya, tapi juga memilih para pelukis, baik yang sudah dikenal maupun belum dikenal, atau tidak dikenal sama sekali karena riuh rendah politik cantrikisme dalam seni rupa di masa lalu. Pameran ini menyajikan 48 karya dari 44 perupa dengan pelbagai irisan tematik antara pemandangan alam, kesehari-harian, tradisi, mitologi dan religi. Masyarakat bisa menikmati semua lukisan itu dari dekat, di Galeri Nasional Indonesia, pada tanggal 2-30 Agustus 2017.  

  Dalam tema pemandangan alam, lukisan yang dipamerkan tidak hanya mengambil sudut pandang berbeda, tapi juga merekam objek dari tempat berbeda-beda, antara lain Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Karya-karya ini sebagai penanda, bahwa pada masa itu para pelukis sudah menyebar ke berbagai pelosok merekam pemandangan alam: Nyiur di pinggir pantai, ombak yang bergulung-gulung, pepohonan rindang di antara jalan, gunung yang tinggi, lembah yang curam, dan sawah luas dengan padi menguning. Misalnya Lukisan Harimau Minum (1863), karya Raden Saleh. Lukisan ini menampilkan suasana alam mistis, dramatis, dan warna cenderung redup. Kemudian pelukis Wakidi dengan Lukisan Senja di Dataran Mahat ( 1954) menghadirkan suasana alam ber-bukit-bukit, salah satu obyek kegemarannya.  

Dalam tema dinamika keseharian, kegiatan sehari-hari tak terlepas dari bingkai keindahan alam yang objeknya dekat dengan pantai, ombak, gunung dan sawah. Lukisan Menggaru Sawah karya Romualdo Locatteli, menggambarkan simpatinya pada para petani dengan teknologi sederhana, menggunakan tenaga yang sejalan dengan irama alam, bekerja mulai matahari terbit, dan berahir ketika matahari tenggelam. Lukisan Keluarga Nelayan (1950), karya Cristiano Renato menampilkan cerita keluarga nelayan yang bersiap-siap menuju ke suatu tempat, atau barangkali justru baru tiba dari sesuatu tempat penangkapan ikan. Sebuah gambaran berulang dari kehidupan sehari-hari yang, bergantung pada berkah dan kekayaan laut. 

Tidak kalah menarik, lukisan-lukisan dengan tema tradisi dan identitas menampilkan banyak lukisan bertema kebaya. Istana-Istana Kepresidenan memiliki lebih dari 50 lukisan bertema kebaya dan ragamnya. Pada pameran ini ditampilkan beberapa di antaranya dalam berbagai pose. Lukisan Potret Sumilah (Mimpi) (1950), karya Soedibio, misalnya menggambarkan perempuan berkebaya duduk bersila dengan latar pemandangan yang nampak surealistik, alam rekaan yang tak hadir dalam kehidupan nyata. Bisa jadi alam itu pula yang diidentifikasi sebagai mimpi oleh pelukisnya. 

Lukisan seri berkebaya ini cenderung menampilkan sosok bergaya dan suasana santai sehabis bekerja keras. Tijul , karya Sudarso, memperlihatkan seorang perempuan berkebaya biru mengenakan kain batik bersandar pada meja. Perempuan Berkebaya, karya Barli nampak lebih luwes, menggambarkan seorang perempuan duduk anggun pada sebuah kursi. Dalam lukisan Perempuan Berkebaya karya Sumardi nampak irisan sub-tema pemandangan alam dan tradisi. Di situ seorang perempuan digambarkan berkebaya tengah berdiri dengan latar belakang pantai dan langit biru.

Pada tema mitologi dan religi, dalam literatur di Nusantara banyak ditemukan gambaran mitologi kecantikan dan kuasa seorang perempuan. Misalnya cerita tentang Dewi Durga, yang berasal dari khasanah Hinduisme.

Di kawasan Jawa Timur dan Bali, ada cerita Calon Arang, seorang perempuan yang ditakuti karena kesaktiannya. Di Sumatra Barat ada mitos Bundo Kanduang. Sebuah referensi sangat unik, dan menjelma dalam pola Matrilinial, di tengah masyarakat Patrilinial yang dominan di Nusantara.

Di Yogyakarta, luas dikenal cerita tentang Nyi Roro Kidul, yang digambarkan sebagai seorang perempuan berparas cantik, penguasa pantai dan laut Selatan. Cerita ini kerap digambarkan dalam lukisan. Salah satu di antaranya ditampilkan dalam pameran ini lewat karya Basoeki Abdullah berjudu Nyi Roro Kidul (1950). Kemudian ada Lukisan Bertapa (1930) karya Walter Spies menggambarkan seseorang tengah bersemedi menyucikan diri di sebuah tempat. Permainan aspek cahaya di antara lindap dan gelap dalam karya ini, menguatkan pesan mistis dan religiusitas. (p/ab)