Lima Bom Waktu Ditangan Iwan Bule versi Save Our Soccer

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta  - Banyak yang berharap, Ketua Umum PSSI hasil Kongres Luar Biasa, 2 November 2019, Komjen Pol Mochammad Iriawan, menjadi motor utama reformasi sepak bola Indonesia seperti yang diinginkan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo.

Bahkan, saking gemesnya dengan sepakbola Indonesia, Jokowi saat mengumumkan nama Menpora, Zainudin Amali, menitip pesan khusus: "Sepakbolanya ya, Pak!" Tapi, banyak juga yang pesimis, pria yang menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) itu mampu melakukannya. Maklum, Komite Eksekutif PSSI terpilih, mayoritas diisi orang-orang lama yang ikut mencatatkan sejarah hitam terpuruknya sepak bola Indonesia dengan berbagai kasus yang terjadi. 

“Ada bom waktu di tangan Pak Iwan Bule. Selain harus menjalankan agenda reformasi, dia juga harus mampu menjinakkan tokoh-tokoh lama yang tak bisa lepas dari konflik kepentingan (conflict interest). Bila tak mampu menjinakkannya bom waktu itu sewaktu-waktu bisa meledak,” kata Akmal Marhali, Koordinator #SaveOurSoccer (SOS). 

Mampukah Iwan Bule, begitu panggilan Mochammad Iriawan menjadi simbol reformasi sepak bola nasional yang terburuk dalam 20 tahun terakhir atau tetap jadi “boneka” seperti Ketua Umum PSSI sebelumnya? Jawabannya sangat ditentukan dengan ketegasan Iwan Bule dalam memimpin PSSI belajar dari apa yang dialami Letjen (Purnawirawan) Eddy Rahmayadi. Yang pasti setumpuk berkas (baca: dalam kardus) bisa meledak setiap waktu bila tak mampu dicarikan solusi terbaiknya. Setidaknya, ada lima masalah utama yang harus diselesaikan cepat, tepat, akurat lewat kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas.

Pertama, terkait rangkap jabatan. Banyak anggota Komite Eksekutif yang juga menjadi pejabat asprov atau klub. Wakil Ketua Iwan Budianto (Presiden Klub Arema FC), Pieter Tanuri (Presiden Bali United), Yoyok Sukawi (Presiden PSIS), Hasnuryadi Sulaiman (Presiden Barito Putra), Endri Irawan (Pemilik Mitra Kukar) Haruna Soemitro (Manajer Madura United), Yunus Nusi (Ketua Asprov Kaltim), Ahmad Riyadh (Ketua Asprov Jawa Timur) dan Dirk Soplanit (CEO PT LIB). 

"Rangkap jabatan memang tidak diatur dengan tegas dalam statuta PSSI. Digambarkan hanya secara umum soal potensi konflik kepentingan (Conflict of Interest). Belajar dari pengalaman sebelumnya rangkap jabatan sangat rawan dan sumber masalah. Karena itu bila nawaitu semua exco benar-benar ingin memperbaiki sepakbola Indonesia, maka mereka harus memilih salah satunya. Sepakbola Indonesia (PSSI) tidak bisa dikerjakan sambilan. Karena masalahnya seabrek. Harus fokus 24 jam," kata Akmal.

"Mereka bukan superman atau superboy. Ini waktunya menunjukkan diri bahwa mereka benar-benar ingin mengabdi untuk perbaikan tata kelola sepakbola Indonesia. Pak Iwan Bule harus tegas memberikan penekanan ini dan meminta anggotanya untuk memilih dan segera ambil keputusan," Akmal menambahkan.

Kedua, revisi statuta PSSI. Sepertinya banyak yang abai dan tidak membaca. Pada pasal 21 ayat 3 statuta baru yang ditetapkan pada 27 Juli 2019 dibolehkan satu perusahaan memiliki lebih dari satu klub.

"FIFA melarang cross ownership. Kok PSSI malah mengizinkan. Ini berbahaya buat industri sepakbola Indonesia. Akan ada monopoli dan kartel bisnis di dalamnya bila pasal 21 ayat 3 tidak direvisi. Pastinya, yang memasukkan pasal ini punya kepentingan terselubung. Ini tekel keras yang bisa kartu merah," Akmal mengungkapkan.

"Pasal 21 ayat 3 Statuta PSSI harus direvisi. Ini sangat berbahaya. Kita sudah mengalaminya di era galatama dan akhirnya hancur lebur. Dibolehkannya satu perusahaan memiliki lebih dari satu klub akan membuka pintu pengaturan juara, promosi, dan degradasi. Bahkan, bisa jadi alat match fixing. Ini bom waktu yang bisa meledak setiap saat," Akmal menambahkan.

Ke depan PSSI juga harus membuat aturan baku prosedur jual beli saham klub agar kasus yang terjadi sebelumnya tak terulang. Yang dijual adalah sahamnya, bukan gonta-ganti perusahaan yang meniadakan kewajiban masa lalu seperti utang ke pihak ketiga. "Jangan juga ada pejabat PSSI yang menjadi makelar jual beli lisensi klub karena kegiatan jual beli lisensi dilarang FIFA,” Akmal menegaskan. 

Ketiga, tentunya, soal pemberantasan match acting, match setting, dan match fixing yang menjadi penyakit akut sepakbola nasional. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum. Dengan background polisi akan menjadi tantangan tersendiri bagi Iwan Bule untuk memenuhi ekspektasi masyarakat untuk menyatakan perang terhadap kejahatan sepakbola tersebut. "Ini akan menjadi sorotan selama kepemimpinan Iwan Bule. Bila tidak mampu membentengi sepakbola Indonesia dari pelaku kejahatan match fixing dan masuknya bandar-bandar judi ilegal dari luar negeri," Akmal mengungkapkan.

"Iwan Bule juga dibebankan tugas lama menyelesaikan kasus para pemangku jabatan di sepakbola yang terlibat kasus. Sampai saat ini belum jelas dituntaskannya. jangan sampai tersandera," kata Akmal.

Keempat, soal rivalitas suporter yang selalu berujung kericuhan berbalut anarkisme dan vandalisme. Sosok Iwan Bule yang berbintang tiga di kepolisian diharapkan bisa menuntaskan perseteruan suporter. Jangan lagi ada korban nyawa di sepakbola. "Suporter harus diedukasi dan disosialisasikan soal regulasi agar mereka paham apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mendukung timnya. Bila tidak ada aksi dan kembali ada korban jiwa, bintang tiga Iwan Bule dipertaruhkan. Ini bom waktu yang harus dijinakkan," Akmal menjelaskan. "Plus tentunya menjadi PR adalah kemudahan perizinan pertandingan. Jangan lagi ada pertandingan tanpa suporter tim tamu. Ini sumber konflik horizontal kecuali ada sanksi yang dijatuhkan sehingga tidak boleh datang," Akmal mengungkapkan.

Kelima, bom waktu yang setiap saat bisa meledak adalah soal prestasi timnas. Ekspektasi masyarakat sangat tinggi setelah terakhir juara sea games 1991. Artinya, sudah 28 tahun puasa prestasi. "Timnas yang kuat berasal dari kompetisi yang sehat. Ini menjadi tantangan buat Iwan Bule," kata Akmal.(p/ab)