Ketika Vonis Mati Dibacakan

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Senior


"MATI!"

Bersamaan dengan itu, palu hakim mengetuk meja dengan keras: "TOK!"

Terdakwa tertunduk. Penuntut umum memandang ke arah tengah, terkesan dengan tatapan kosong. Para pembela saling pandang. Keluarga yang hadir tersekat menahan tangis.

Ruang sidang sontak jadi hening. Deru suara AC tiba-tiba menjadi begitu keras. Jauh di dalam hati, ada kesedihan, ada kegalauan, ada ketakutan. Tapi, pasti ada juga kepuasan.

Pemandangan seperti, biasa terjadi di pengadilan, saat vonis mati dijatuhkan hakim. Ketegangan sesungguhnya sudah terjadi saat hakim mulai membacakan rangkaian menuju vonis. Puncaknya: "Mati!"

Seharusnya, pemandangan itu juga yang kita dapatkan saat ini. Ketika dunia menyebut: Corona, Covid-19 sebagai pandemic. Sebagai 'alat' paling mematikan. 

Menurut hemat saya, itu serupa dengan pernyataan dan palu hakim yang menyentak meja tadi. Apalagi, kali ini yang memukulnya adalah hakim paling hakiki. Hakim yang tidak mungkin bisa dibeli, bisa diatur, bisa ditekan, bisa diancam. Hakim yang satu ini bersifat pasti.

Tapi, anehnya, di sini, di negeri yang katanya kita cintai. Di sini, di negeri yang katanya paling agamis. Di sini, di negeri yang mengaku suka gotong-royong. Di sini, di negeri yang mengklaim paling humanis. Suasana itu nyaris tak terlihat.

Mayoritas kita malah justru masih tetap menganggap sepele. Masih keluyuran semaunya. Kebiasaan nongkrong, tidak berubah.

Dan, perdebatan untuk hal-hal yang tidak substansial, pada corona dan covid-19, terus saja terjadi. Menyerang orang yang tidak kita suka, dan memuja orang yang kita anggap dewa, masih terus berkobar.

Akibatnya? Ya, bisa kita lihat isi medsos. Saling tuding, saling maki, dan saling menepuk dada. Malah, maaf, ada juga yang diam-diam menggunakan momen ini untuk kampanye. Ada pula yang mati-matian mengganjal orang lain agar tidak jadi pahlawan. Duuuh.

Padahal, setiap hari, korban meninggal terus meningkat. Setiap saat, korban positif makin menggunung. Setiap waktu, korban ODP, makin membludak. Setiap langkah, masker tetap langka, pakaian ADP jelas tidak mudah didapat. Obat dan vitamin, menguap, rumah sakit makin terhimpit. Setiap desah, pejuang medis, dokter, perawat, sopir, penjaga, kian terjangkit.

Ee... mayoritas kita seperti tak perduli. Kita terus diperlihatkan kumandang perlombaan. Pertarungan yang menjijikan. Komentar tak berbobot bertebaran.

Duhai semua orang yang mengaku paling hebat. Merasa paling benar. Menganggap cuma dirinya yang paling berhak. Stooop semua itu.

Lihatlah sekelilingmu. Lihatlah para korban. Lihatlah para dokter dan perawat. Lihatlah jeritan rakyat kecil. Lihatlah semua dengan mata dan hatimu.

Jadikanlah vonis Covid-19 ini jalan untuk kita memperbaiki diri. Gunakan sisa waktu kita dengan sebaik-baiknya. Terus tambah bekal kita untuk perjalanan yang amat panjang dan sangat lama. Dan jangan biarkan setan terus menguasai diri dan hati kita. 

Semoga kita menjadi orang yang beruntung di akhir hayat kita, aamiin