Kemenperin Tarik Investor Jepang untuk Bikin Baterai Kendaraan Listrik

By Admin


nusakini.com-Jakarta-Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri, salah satu upayanya dengan menarik investasi di sektor industri pembuatan baterai. Sebab, teknologi baterai merupakan bagian penting sehingga dapat meningkatkan komponen lokal. 

“Sebelumnya, saya sudah sampaikan ke investor Korea dan negara lain. Saat ini, kami berharap Jepang juga bisa masuk ke wilayah yang sedang kita butuhkan untuk pengembangan kendaraan listrik,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto saat acara Indonesia-Japan Automotive Seminar di Jakarta, Selasa (29/1). 

Menurut Harjanto, Jepang menjadi salah satu negara potensial karena teknologi kendaraan listriknya yang sudah berkembang. Hal ini dapat mendukung investasi bahan baku baterai yang sudah ada di Indonesia. 

“Di Morowali sudah ada investor materialnya, dalam 16 bulan ke depanmereka sudah siap beroperasi. Maka itu berikutnya, kami terus dorong untuk pembangunan pabrik baterainya,” jelasnya. 

Pada Jumat (11/1), Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan telah meresmikan peletakan batu pertama pembangunan PT. QMB New Energy Materials di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.  

Proyek industri smelter berbasis teknologi hydro metallurgy tersebut, akan memenuhi kebutuhan bahan baku baterai lithium generasi kedua nikel kobalt yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Total investasi yang ditanamkan sebesar USD700 juta dan akan menghasilkan devisa senilai USD800 juta per tahun. 

Dari pabrik yang bakal menyerap total tenaga kerja sebanyak 2.000 orang itu, setiap tahunnya akan memproduksi sebanyak 50.000 ton produk intermediate nikel hidroksida, 150.000 ton baterai kristal nikel sulfat, 20.000 ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30.000 ton baterai kristal sulfat mangan. 

Harjanto pun menegaskan, komitmen Kemenperin dalam memacu kendaraan listrik, terwujud dari inisiasi pembuatan peta jalan pengembangan industri otomotif nasional, yang salah satunya fokus pada produksi kendaraan emisi karbon rendah atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). 

“Pada program LCEV itu termasuk di dalamnya adalah kendaraan listrik. Selain itu, kami juga sudah menyelesaikan pengkajian terhadap rancangan Peraturan Presidententang kendaraan bermotor listrik,” tuturnya. 

Langkah lainnya yang perlu dilakukan dalam rangka memperkenalkan kendaraan ramah lingkungan, di antaranya terkait kenyamanan berkendara oleh para pengguna, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi, dan regulasi. 

“Regulasi itu termasuk juga dukungan kebijakan fiskal agar kendaraan electrified vehicle dapat dimanfaatkan oleh para masyarakat pengguna tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tinggi,” imbuhnya. 

Harjanto menyebutkan, misalnya dukungan insentif fiskal berupa tax holiday atau mini tax holiday untuk industri komponen utama seperti produsen baterai dan pembuat motor listrik (magnet dan kumparan motor). “Kami juga telah mengusulkan super tax deductions sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas R&D&D (research and development, and design),” ujarnya. 

Deputy Director-General, Manufacturing Industries Bureau, Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) Yoji Ueda menyampaikan, Indonesia dan Jepang telah lama menjalin hubungan kerja sama yang komprehensif terutama dalam pengembangan sektor industri. 

“Di sektor otomotif, Jepang telah memainkan peran utama dalam kontribusi sebagai pemain bisnis utama. Selain itu, Jepang dengan sumber daya alam yang terbatas, terus melakukan pengamanan pasokan energi yang stabil,” paparnya. 

Dalam acara Indonesia-Japan Automotive Seminar, METI memperkenalkan kebijakan terbaru tentang elektrifikasi industri otomotif. METI juga menjelaskan tentang langkah-langkah kebijakan untuk promosi penetrasi xEV (keragaman kendaraan listrik) di Jepang.

“Penting bagi pemerintah untuk memilih xEV dari sudut pandang yang seimbang, antara keamanan energi, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan kebutuhan pembeli. Untuk mencapai tujuan ini, Jepang mendorong kerja sama dengan negara-negara laindan secara aktif berbagi pengalaman mengenai pengembangan kendaraan listrik,” jelasnya. 

Tahun ini, Jepang akan menjadi tuan rumah G20, salah satu isu yang akan dibahas adalah hasil penelitian kendaraan listrik dari sudut pandang akademik. Menurut Udea, hasil riset tersebut diharapkan menjadi pondasi pengembangan industri di masa depan. “Pengembangan ini untuk mengupayakan pengurangan emisi gas rumah kaca dan makin memajukan industri otomotif,” tegasnya. 

Target utama 

Dirjen ILMATE menyampaikan, pemerintah serius dalam mengembangkan kendaraan listrik karena memiliki target utama yang ingin dicapai, yakni ketahanan energi dan ramah lingkungan. “Guna menangani masalah energy security, kendaraan listrik merupakan salah satu alternatif yang kita pakai untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM),” ujarnya. 

Pemerintah menilai, kendaraan bermotor listrik dapat mengurangi pemakaian BBM serta memangkas ketergantungan impor BBM. Ini berpotensi menghemat devisa kurang lebih Rp798 triliun. “Kita masih punya CPO atau sumber energi lain terbarukan yang bisa dimanfaatkan,” ungkap Harjanto. 

Selain itu, pengembangan kendaraan listrik sebagai salah satu komitmen pemerintah dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (CO2) sebesar 29 persen pada tahun 2030. “Penurunan emisi bukan hanya tergantung kendaraannya,tapi juga dari sumber energi yang kita gunakan,” terangnya. 

Sejalan target tersebut, pada peta jalan pengembangan industri otomotif nasional, populasi mobil listrik pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 20 persen atau sekitar 400.000 unit dari total produksi di dalam negeri sebesar dua juta unit. Di tahun yang sama, populasi motor lsitrik dibidik sebanyak dua juta unit. 

Selanjutnya, berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, Indonesia akan menjadi basis produksi kendaraan jenis Internal Combustion Engine (ICE) maupun Electrified Vehicle untuk pasar domestik hingga ekspor pada tahun 2030. Hal ini didukung oleh kemampuan industri nasional dalam memproduksi bahan baku dan komponen utama serta optimalisasi produktivitas sepanjang rantai nilai industri tersebut. 

Lebih lanjut, pengembangan kendaraan LCEV juga perlu disesuaikan dengan karakteristik teknologi, antara lain terkait jarak tempuh, ukuran kendaraan dan bahan bakar yang digunakan. Hal ini juga untuk mengatur mengenai skema insentifnya. 

“Tentunya insentif ini disesuaikan dengan jumlah emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan itu. Jadi, makin rendah emisinya, makin besar insentifnya,” ucap Harjanto. Di samping itu, pembobotan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga menjadi faktor pemberian fasilitas fiskal tersebut.  

“Kami juga telah mengusulkan penurunan PPnBM kendaraan listrik dan terkait bea masuk, sehingga kendaraan listrik dapat lebih diperkenalkan dan diaplikasikan di Indonesia secara luas,” imbuhnya. 

Hal senada disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, pemerintah mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik di Indonesia melalui Peraturan Presiden yang akan segera diterbitkan. “Tentunya beleid itu harus diikuti dengan fasilitas PPnBM dan bea masuk impor. Jadi, kalau tanpa fiskal, regulasi tersebut kurang efektif. Insentif ini sedang disiapkan oleh Kementerian Keuangan,” tandasnya. 

Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, kata Menperin, pengembangan kendaraan listrik perlu melibatkan pihak swasta baik untuk melakukan kegiatan riset maupun pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Selain itu penyiapan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu menguasai teknologi terkini dan mengoptimalkan TKDN sebagai penciptaan nilai tambah dan efek berantai bagi perekonomian nasional. Bahkan, industri kecil dan menengah (IKM) berpeluang memproduksi komponen kendaraan listrik.(p/ab)