nusakini.com--Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama tahun ini akan melakukan kajian kebutuhan layanan pesantren untuk santri luar negeri di Indonesia. Kegiatan ini diambil sebagai tindak lanjut Halaqah Ulama ASEAN 2017 yang merekomendasikan perlunya kajian peningkatan layanan dan kerjasama pendidikan keagamaan (Pesantren) di ASEAN.   

Hal ini disampaikan Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Amsal Bahtiar, pada Workshop Penelitian Santri Luar Negeri di Jakarta. Menurutnya, penelitian ini bertujuan memetakan motivasi santri luar negeri menempuh pendidikan agama di Pesantren Indonesia. Selain itu, sejauhmana pesantren yang diminati santri luar negeri memberikan layanan pendidikan kepada mereka.  

“Juga mengetahui harapan santri luar terhadap pendidikan pesantren di Indonesia,” ujarnya.  

Amsal Bahtiar mengatakan, kajian ini penting untuk meningkatkan layanan pendidikan di Pesantren dalam konteks masyarakat global, termasuk mengantisipasi terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). “Kita perlu mengetahui motivasi santri asing belajar di pesantren Indonesia. Dan nantinya kita bisa bercermin terhadap harapan santri yang berasal dari luar negeri terhadap layanan yang diberikan pesantren kita,” tuturnya.  

Urgensi lainnya dari penelitian ini, lanjut Amsal Bakhtiar, mengetahui kiprah santri luar negeri yang telah menjadi alumni di negara mereka. Gambaran tentang kiprah santri luar negeri ini menarik untuk mengembangkan kebijakan pengembangan layanan pesantren di Indonesia.  

Kabid Litbang Pendidikan Keagamaan sekaligus penanggungjawab penelitian, Muhamad Murtadlo, menyatakan, berdasarkan studi awal yang dilakukan ke beberapa provinsi, ditemukan bahwa jumlah santri luar negeri yang belajar di pesantren di Indonesia cukup banyak. Dari studi awal, jumlahnya bahkan mencapai 1.504 santri, dengan sebaran: 948 santri di Jawa Timur, 338 santri di Jawa Tengah, 107 santri di Jawa Barat, 9 santri di Banten, 39 santri di Yogyakarta, 45 santri di Aceh, lima santri di Sulawesi Selatan, dan 18 santri di NTB. Jumlah ini kemungkinan masih akan bertambah dari pesantren yang belum memberikan laporan.  

“Jumlah paling besar berasal dari kawasan negara-negara ASEAN. Bahkan yang di Aceh, terdapat banyak anak-anak dari negara-negara Eropa,” katanya.  

Provinsi dengan jumlah santri luar negeri terbesar adalah Jawa Timur, yaitu di Pesantren Temboro (Magetan) dan Pesantren Gontor 3 di Kediri. Selain itu, ada juga beberapa pesantren dengan lebih 50 santri dari luar negeri, yaitu: Pesantren Wahid Hasyim di Semarang, Pesantren Sirojul Muhlasin di Magelang, dan Pesantren Darul Habib di Sukabumi Jawa Barat.  

Dikatakan Murtadlo, pada penelitian awal ini terpetakan juga sejumlah masalah yang dialami santri luar negeri pada awal mereka belajar di pesantren di Indonesia. Masalah tersebut antara lain terkait adaptasi budaya, penyesuaian bahasa, proses belajar mengajar dan makanan sehari-hari.  

“Untuk mengoptimalkan layanan pesantren terhadap santri luar negeri dan mengundang lebih banyak santri dari luar negeri ke Indonesia, Kementerian Agama perlu melakukan treatment khusus. penelitian-penelitian tentang layanan santri luar negeri seperti ini perlu lebih banyak dilakukan,” tambah Murtadlo.  

Workshop Penelitian Santri Luar Negeri di Indonesia ini menghadirkan narasumber dari P3M Jakarta (Agus Muhammad) dan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Basnang Said. Selain peneliti Kemenag, workshop diikuti juga oleh sejumlah dosen UIN Jakarta. 

Agus Muhammad dari P3M menyambut baik penelitian ini, karena dinilai relatif baru dan menarik. Secara metodologi, Agus Muhammad mengusulkan agar penelitian didalami secara kualitatif sehingga intreprestasinya lebih mendalam. “Saya setuju dengan pilihan metodologi yang sudah diambil,” tegasnya.  

Kasubdit Pendidikan Pesantren Basnang Said menambahkan, selain menggali layanan pesantren, penelitian ini juga perlu memetakan kemampuan santri luar negeri dalam memahami Islam khas pesantren Indonesia, yaitu Islam Wasatiyah. Hal ini penting untuk mewujudkan pengembangan moderatisme Islam yang menjadi misi utama pesantren di Indonesia sehingga menjadi warna ketika mereka kembali ke negara mereka masing-masing. (p/ab)