Kebijakan Responsif dan Adaptif Perlu Untuk Menyesuaikan Perubahan

By Abdi Satria


nusakini.com-Depok-Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menyatakan kebiasan pakar ekonom untuk memprediksi kondisi ekonomi berbasis trend data ditengarai tidak lagi efektif mengantisipasi perubahan lingkungan yang begitu cepat.  

“Warren Buffet salah satu orang terkaya di dunia bilang tidak ada buku teks ekonomi yang bisa memprediksi apa yang terjadi sejak 2017 sampai sekarang karena kebiasaan ekonom untuk membaca, meramal dengan menggunakan trend dari data. Dia tidak membaca buku, membaca koran segala macam, proyeksikan saja. Ternyata itu harus berubah,” papar Dekan FEB-UI.  

Ia mencontohkan, belum lama ekonom sudah optimis ada perjanjian dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, ternyata tiba-tiba mereka berselisih paham lagi. Dunia tidak bisa menebak itu sehingga terjadi gonjang-ganjing di pasar saham.      

Menanggapi pidato Dekan FEB-UI tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan perubahan perilaku individu karena kemajuan teknologi komunikasi membuat pembuat kebijakan harus responsif dan adaptif. Kendalanya adalah secara umum pembahasan kebijakan membutuhkan waktu yang lama, baik pada saat identifikasi masalah serta menyusun alternatif solusinya maupun pada saat proses politik pembahasan selanjutnya di DPR. 

Hal ini disampaikan Menkeu pada kuliah umum semester genap Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI dengan tema “Teori Kebijakan Fiskal dan Implementasinya di Indonesia” di Auditorium FEB-UI, Depok, Rabu (08/05). 

"Dulu dibayangkan kebijakan itu membutuhkan waktu lama, namun dengan adanya sosial media, bisa saja Menteri Keuangan Amerika sudah memikirkan (postur dan asumsi) APBN, tiba-tiba Presiden Trump marah sama kongres. Kemudian dia bikin Twitter untuk merubah kebijakan. Itu bisa merubah dalam 1 menit saja gara-gara Twitter. Jadi, policy seperti ini, in reality sangat kental dengan siapa yang membuat decision dan bagaimana behavior dia. Sekarang dengan teknologi sosial media, banyak decision maker itu ingin berkomunikasi langsung dengan masyarakatnya. Sehingga institutional process-nya sangat unpredictable,” jelas Menkeu. 

Namun demikian, untuk mengatasi isu-isu jangka pendek tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan dalam melakukan kebijakan counter cyclical yang bersifat temporer. 

“APBN atau fiscal policy memiliki automatic stabilizer sendiri. Artinya kalau kita sudah mengatakan tahun ini kita akan belanja (Rp)1.000 triliun, namun kemudian ekonomi melemah dan lesu. Misalnya seperti Pak Dekan tadi mengatakan tiba-tiba Pak Donald Trump (Presiden Amerika Serikat) rewel sehingga ekonomi melemah maka penerimaan pajak turun sedangkan belanja tetap. Sehingga terjadilah automatic stabilizer (dengan kebijakan fiskal) yaitu ekspansi fiskalnya. Atau (sebaliknya) kalau ekonominya lagi boom, tadinya kita targetkan penerimaan negara 1000, karena ekonomi menjadi bagus maka kita mendapatkan windfall. Penerimaan menjadi jauh lebih banyak, APBN menjadi automatic stabilizer dengan melakukan surplus. Itu yang disebut automatic counter cyclical,” jelas Menkeu.(p/ab)