Ini Tiga Formula Menjadikan Pendidikan Tinggi Sebagai Pusat Pengembangan Ilmu dan Peradaban

By Admin

nusakini.com--Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin menjadi salah satu pembicara pada Annual International Conference On Islam And Civilization (AICIC) di Univesitas Muhammadiyah Malang.  

Menurutnya, ada tiga formula untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa. Pertama, pendalaman dan pemahaman aspek keagamaan tentang perdamaian, kerukunan, dan kemanusiaan. Ini tidak hanya berbasis intelektualitas-kognitif, melainkan lebih menekankan aspek "penghayatan" (afektif) dan "pengamalan' (psikomotorik). 

“Hal ini diupayakan untuk mewujudkan pendidikan berbasis nilai kerukunan dan perdamaian (peace values based education) dalam rangka mendekatkan pemahaman tentang agama yang ramah terhadap realitas pluralism,” ucap Kamaruddin Amin, Jumat (17/11). 

Menurutnya, pendidikan berbasis nilai perdamaian diorientasikan untuk mengeliminasi keyakinan radikalistik tentang "kebenaran eksklusif" terhadap suatu agama. Karena salah satu pintu masuk radikalisme adalah dimensi pengetahuan yang kurang memadai atas nilai luhur yang terkandung dalam sebuah agama. Untuk itu, memupuk karakter keagamaan sebaiknya juga dilandasi oleh basis nilai keberagamaan dalam wilayah yang seimbang (balance), toleran, dan adil.  

“Serangkaian pemahaman atas nilai keberagamaan tersebut pada gilirannya akan membuka itikad "dialogis" dalam mencari titik solusi ketimbang anarkhi,” ujarnya. 

Hal kedua adalah pengarusutamaan moralitas sebagai praktik, bukan sekedar intelektualitas. Secara substansi, tidak satupun ajaran agama yang mengesahkan 'kekerasan' dalam menyelesaikan konflik. Dalam hal praktik inilah, pendidikan berbasis nilai perdamaian mendapati urgensinya.  

“Ia memang diawali dari pengetahuan dan pemahaman yang dapat bersumber dari pengetahuan agama, sosial, dan budaya. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah 'mengamalkan' apa yang dipahami dalam kehidupan di lingkungan pendidikan, di keluarga maupun di lingkungan masyarakat,” ucap Kamaruddin Amin. 

Formula ketiga, indikator keberhasilan pendidikan berbasis nilai perdamaian dalam konteks ikhtiar mengeliminasi konflik sosial-keagamaan sesungguhnya bermula dari tumbuhnya kesediaan untuk menghargai nilai. Artinya, anak didik telah tersentuh hatinya dan dapat menyimpulkan bahwa nilai kerukunan, perdamaian, anti kekerasan, dan saling menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang indah dan baik untuk diri pribadi dan masyarakat. 

Sehubungan itu, lanjut Kamaruddin, beberapa rekomendasi yang perlu digarisbawahi adalah: diperlukan penyegaran sikap, komitmen seluruh warga masyarakat termasuk civitas akademika perguruan tinggi tentang metode dan pendekatan pendidikan yang lebih integratif-interkonektif. Keluasan teori dan praktik pendidikan perlu dijadikan acuan untuk perbaikan dan penyempurnaan yang telah dilakukan selama ini. 

Selain itu, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila perlu dikaitkan dengan isu-isu baru yang lebih menyentuh kebutuhan dasar manusia, seperti kesehatan, kesetaraan gender, pemerintahan yang baik, kesejahteraan ekonomi. “Termasuk juga rembug bersama para pemimpin agama tentang permasalahan sosial kebangsaan, dan terlebih tentang toleransi dan penghargaan atas perbedaan,” tandasnya.(p/ab)