Ini Penjelasan Tentang Beras Disubsidi dan Harga Atas

By Admin

Foto/Ilustrasi  

nusakini.com - Menanggapi berbagai simpang-siur pemberitaan mengenai Penggerebekan Gudang Beras PT IBU di Bekasi. Dr Ana Astrid Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan bahwa tidak ada kebohongan publik terkait beras yang disubsidi.

Ana mengatakan, yang dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras tersebut, ada subsidi input berupa subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 triliun, Bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah kepada petani yang besarnya triliunan rupiah juga.

"Sekedar informasi di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) yang besarannya sekitar Rp 19,8 triliun yang pendistribusiannya satu pintu melalui BULOG, dan tidak diperjual-belikan di pasar", jelas Ana di Jakarta, Sabtu (22/7/2017).

Selanjutnya Ana menyampaikan beras yang ditemukan di Bekasi itu jenisnya adalah Varietas IR64. "varietas IR64 merupakan salah satu benih padi dari Varietas Unggul Baru (VUB), diantara varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya.  Total VUB yang digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.

“Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya” ungkap Ana. 

Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, imbuh Ana, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan "IR 64" baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu adalah sejenis IR.  Apapun varietasnya, petani cenderung menyebutnya  benih jenis IR.

“Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700/kg gabah”, terang Ana.

Jadi perusahaan ini membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama atau sedikit lebih mahal, selanjutnya dengan prosessing/ diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi.  Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang mereka peroleh tinggi bisa 100 persen, mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi. 

“Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang sama dan diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal medium” tegasnya.

Lebih lanjut Ana menegaskan akibat perilaku seperti ini negara sangat dirugikan. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati.  Produk dari petani diolah oleh perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual dengan harga tinggi kepada konsumen.  Kedua tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku.

"Hitungan kerugian  seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg, taruhlah selisih harga ini minimal Rp 10.000/kg dan  bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2% dari beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir sebesar Rp 10 triliun", papar Ana.

Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak. Ana mengatakan harga acuan di konsumen atau biasa disebut Harga Atas tidak mendadak, sejak tahun lalu sudah diterbitkan HET. Pada tahun 2016 sudah diterbitkan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016  dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.500/kg.  Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg.

"Harga beras rerata sekarang Rp 10.500/kg itu kan tinggi, karena terbentuk dari adanya beras yang dijual tinggi selama ini", pintanya

Untuk diketahui harga acuan sudah mempertimbangkan kelayakan usahatani, biaya distribusi dan keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.

Selanjutnya menanggapi masalah kandungan gizi, Ana menuturkan tidak ada perbedaan paham terfdap kandungan gizi.

"Saya kira tidak beda paham mengenai kandungan gizi dan angka kecukupan gizi. Kandungan gizi beras adalah banyaknya gizi yang ada di dalam beras, sedangkan angka kecukupan gizi adalah  jumlah harian besarnya zat gizi rata rata yang diperlukan orang dewasa untuk dapat beraktivitas secara normal.  Jadi kalau ingin masyarakat beraktivitas normal, maka kandungan gizi yang dikonsumsi harus sama dengan kecukupan gizi” jelasnya

Berkaitan pemberitaan mengenai besarnya beras disimpan gudang perusahaan, Ana menjelaskan bahwa untuk diketahui bahwa jumlah dan kapasitas gudang di Indonesia kan sudah didata oleh Pemerintah. KPPU dan Satgas Pangan juga sudah mempunyai data tersebut dan memonitor perederan beras dari sentra produksi ke konsumen secara harian,

“Jadi masyarakat jangan terkecoh dengan isu lain, karena intinya adalah ada pembagian keuntungan yang tidak adil antar petani, middleman dan konsumen seperti dikeluhkan sejak lama. Saat ini Satgas Pangan sedang bekerja, jadi ya wajar bila ada yang terganggu bisnisnya”, pungkas Ana. (p/mr)