HUT PSSI ke-89, Sejak Lahir Negara Tidak Pernah Hadir

By Abdi Satria


Penulis: Erwiyantoro (Penikmat Sepakbola)

Sebagai penikmat sepakbola, saya tidak habis mikir, ketika sepak bola nasional diobok-obok dan diacak-acak oleh Satgas Anti Mafia bola, utusan Mabes POLRI sejak pertengahan 21 Desember 2018 hingga akhir Januari 2019. Di mana negara dan bangsa ini hadir? Mengapa negara dan bangsa ini diam seribu bahasa? Tahukah wahai negara, bahwa lembaga PSSI itu hadir sebelum Indonesia merdeka, Karena anak-anak muda paham, bahwa sepak bola bisa dijadikan alat pemersatu bangsa?

Saya juga tidak habis pikir, ketika Indonesia belum punya negara secara legal, Belanda dibawah sadarnya, sebagai negara penjajah, mengirim tim kesebelasan ke event Piala Dunia ke-3, tahun 1938 atas nama Dutch East Indies yaitu Indonesia ke FIFA World Cup France. Jika Dutch East Indies alias Indonesia, tidak diajak Belanda ke event paling bergengsi di kolong langit ini. Apakah nama Indonesia bisa merdeka tahun 1945? 

Intermezo dua alinea di atas, menurut mBah Coco hanya sebagai pengingat. Bahwa, Indonesia merdeka dan deklarasi sebagai negara dan bangsa, salah satunya karena ngototnya anak muda jaman Ir. Soeratin Sosrosoegondo, bersama teman-temannya seperti EA Mangindaan, yang juga mantan pelatih nasional Indonesia 1966 – 1970 (bapaknya EE Mangindaan, mantan Gubernur Sulawesi Utara 1995 - 2000) atau Pak Besoes (bapaknya Nugraha Besoes, mantan sekjen PSSI 1982 – 1992, dan 2003 – 2010), dengan gagah berani, sambil sembunyi-sembunyi, mampu mendirikan organisasi (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia), 19 April 1930, dan kemudian berganti jubah, saat Kongres PSSI 1950, dengan nama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. 

Menurut saya, sepak bola yang harusnya menunggu kehadiran negara dan bangsa ini, bukan regim negeri ini yang menunggu diundang masuk kancah sepak bola nasional. Artikel ini memapaki usia PSSI, yang genap 89 tahun, 19 April ini. Mengapa?  

Suka atau tidak, benci atau rindu, sejarah bola itu adalah permainan yang di import, entah dari mana saja. Intinya, bukan permainan asli milik bangsa Indonesia. Namun, bangsa Indonesia sangat beruntung, karena sepak bola nyaris sebagai epidemic (penyakit menular yang sangat disukai anak-anak dari Sabang sampai Merauke). Puncaknya, sampai tulisan ini diturunkan, ada sekitar 100 juta penggemar bola yang sangat fanatik. 

Fenomena ini, tidak dimiliki oleh banyak negara yang sudah modern atau pun sudah dijadikan sebagai komoditas industri. Ini yang harus dilihat oleh negara, bahwa sepak bola itu, sampai hari ini sangat digandrungi, melebihi kecintaan terhadap agama atau partai, atau pun mungkin pacarnya. 

Di sisi lain, negara dan bangsa ini, ingin sekali segera bisa tampil di kancah pergaulan dunia, tampil di Piala Dunia atau pun Olimpiade. Namun, dari sisi yang berbeda, negara dan bangsa ini, justru cuek bebek. Seolah-olah sepak bola itu milik PSSI, dan negara tidak tertarik ikut campur, atau seolah-olah gengsi untuk menurunkan egonya, menyapa lembaga sepak bola – PSSI, sebagai bagian dari titahnya. 

Negara dan bangsa ini harus segera turun tangan menyapa sepak bola nasional, jika memang ingin menjadi negara yang diperhitungkan seperti di jaman 70-an. Caranya bagaimana? 

Tiga Solusi 

Ada tiga cara membenahi sepak bola nasional, agar bisa segera bergaul di level internasional, tentunya lewat prestasi. Negara, PSSI dan semua yang terkait dengan sepak bola nasional, segera berbenah, dan duduk bareng. 

PERTAMA : Salah satu syarat menjadi klub sepak bola profesional, PSSI tidak mungkin pernah bisa sendirian. PSSI dan pemimpin negeri ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) harus duduk bareng, bersama Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo, serta Kapolri Tito Karnavian, wajib meluangkan waktunya, untuk bereskan semua masalah sepak bola nasional. 

Jokowi harus mendapat wawasan dan referensi baru dari PSSI dan stakeholder sepakbola nasional, bahwa setiap klub itu, dipastikan tidak akan layak menjadi klub profesional, jika dibebani membayar sewa stadion. Pakde Jokowi  harus diarahkan untuk segera membuka “kran” untuk membebaskan setiap klub anggota Liga 1, 2 dan 3 serta seterusnya, untuk gratis (minimal semua murah banget) mengelola stadion dikotanya masing-masing. 

Dengan syarat-syarat, harus investasi lampu, harus merenovasi semua ruang ganti pemain, ruang wasit, ruang VIP, penonton beserta favisilitas standart stadion lisensi AFC dan FIFA. Juga, bebas menjual “brand” nama baru stadionnya untuk mendapatkan "income". Intinya, setiap klub, hanya wajib membayar pajak tontonan. Selebihnya gratis sesuai standar pemerintah. Jika, dalam 10 tahun dikasih gratis mengelola stadion, namun tidak maksimal dan melanggar aturan mainnya, langsung dicabut ijin pemakaiannya. 

Contoh, jika Persija Jakarta setiap pertandingan harus menyewa Stadion GBK Senayan, nilainya Rp 540 juta, dan harus setor dana jaminan sebesar Rp 1,5 miliar (jika terjadi kerusakan fasilitas negara, dana perbaikannya diambil dari uang jaminan). Maka, jika Persija Jakarta berkompetisi satu musim, menjadi tuan rumah 17 pertandingan “home”. Maka, Persija Jakarta harus menyiapkan dana, sebesar Rp 8.5 miliar, plus Rp 17 miliar (sebagai jaminan). 

Padahal, kalau Persija Jakarta diberi fasilitas gratis mengelola stadion GBK Senayan 10 tahun, beban investasi Persija Jakarta, untuk menyewa, bisa dipergunakan membangun youth academy, bisa mencetak pemain berbakat, tanpa harus membeli pemain asing (seperti kucing dalam karung). Bisa investasi merchandising yang menguntungkan, bisa melakukan pengembagan bisnis apa pun yang terkait dengan Persija Jakarta – seperti masuk jaringan IPO di bursa saham. Bahkan, mampu menabung, jika nama stadion dijual “brand”-nya menjadi Stadion Telkomsel GBK (misalkan), dengan nilai Rp 1 triluyun yang menggiurkan selama 10 tahun.  

Jokowi harus segera memberi instruksi dan surat keputusan kepada lembaga POLRI, bahwa setiap klub anggota Liga 1, 2 dan 3 serta seterusnya untuk tidak diminta dana pengamanan, jika berkompetisi. Pasalnya, dana pengamanan bagi klub, benar-benar sangat berat, dan besar nilainya. 

Contoh, jika Persija Jakarta menjadi tuan rumah untuk tamunya dalam kompetisi liga 1, maka manajemen Persija Jakarta, harus mengeluarkan dana keamanan sebesar Rp 500 juta, setiap pertandingan. Jika ada 17 kali pertandingan “home”. Lagi-lagi, Persija Jakarta, total harus siapkan dana Rp 8.5 miliar. Oleh sebab itu, Jokowi harus membuat surat keputusan, bahwa lembaga POLRI, tidak mengambil dana keamanan saat Persija Jakarta menjadi tuan rumah. POLRI harus punya dana sendiri, kewajiban lembaga POLRI, sebagai lembaga yang melindungi dan mengawal masyarakat, jika ada event sepak bola, atau pun bentuk keramaian apa pun. Adalah tugas kewajiban dan melindungi serta menganyomi semua event apa pun di negeri ini.  

Artinya, Persija Jakarta dalam satu musim, bisa investasi dana keamanan, dan dana sewa stadion, sebesar total Rp 17 miliar. Dana sebesar itu, misalkan, bisa membayar, mengontrak setiap pemainnya dengan benar. Agar, para pemain tidak lagi, mencari “uang tambahan” dengan ikut diatur mengatur skor pertandingan. Seperti yang terjadi, dalam 20 tahun terakhir. 

Bisa dibayangkan, kalau Persija Jakarta yang baru saja juara Liga 1 Indonesia 2018, seolah-olah glamour dan terkesan elit. Namun, sejatinya, dalam masalah keuangan justru sisakan hutang, dan kembali hutang terus menerus. Padahal, jika melihat kiblat sepak bola dunia, di daratan Eropa. Jika, ada klub punya 100 ribu penonton fanatik. Dijamin untung melimpah. Namun, mengapa Persija Jakarta yang punya suporter militant - The Jak, sekitar 120 ribu yang selalu siap beli tiket, kok manajemen Persija Jakarta rugi?  

KEDUA : Bicara tim nasional Indonesia, negara harus segera turun tangan menyapa warga bola di Tanah Air. Negara tidak boleh hanya membuat statement, bahwa saatnya sepak bola bisa lolos Piala Dunia, tanpa berbuat apa-apa.

Saya mencoba memberi contoh  empat negara sebagai inspirasi. Jepang, tidak mendadak ujug-ujug membangun prestasi sepak bola, hingga sampai hari ini. Jepang membangun sepak bola, karena negara ikut campur langsung praktik. Membangun infrastruktur, memberi hibah lahan dan dan negara langsung terlibat mencentak stadion-stadion di semua kota di Jepang. Lembaga dibawah negara, seperti lembaga pendidikan dan lembaga olah raga, serta badan BUMN Jepang, terlibat langsung membuat program bersama PSSI-nya Jepang (JAF), terlibat langsung mencetak program. 

Vietnam, yang baru merdeka jauh sesudah Indonesia, akibat perang Vietnam. Juga membangun sepakbolanya, langsung dibawah komando negaranya. Pemerintah Vietnam memberi lahan, untuk PSSI-nya Vietnam. Dan, FIFA yang memberi dananya. Begitupula Timor Leste.   

Qatar, sejatinya tidak ujug-ujug menjadi kekuatan baru di Asia Tengah, selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Irak dan Kuwait. Setelah sukses merebut gelar juara Piala Asia 2019. Namun, menurut mBah Coco, Qatar sudah mempersiapkan diri membangun pembinaan dan infrastruktur, 10 tahun lalu, sebelum dinyatakan sebagai pemenang tuan rumah World Cup 2022.  

Bayangkan di negeri Indonesia yang katanya “gemah ripah loh jinawi”, nyatanya sangat brengsek dan sontoloyo. Latihan tim nasional di Lapangan A, B, C Senayan, setiap harinya dibebani membayar Rp 2.5 juta. Giliran, tim nasional juara (walaupun levelnya cemen), Menpora Imam Nahrawi, sudah menyambut pemain dan pelatih di Bandara, dan esoknya diajak ke Istana Negara, menemui Jokowi. Apa urusannya Menpora dan Jokowi menyambut doang? 

Gaya dan karakter seperti inilah wajah negara melihat sepak bola. Hanya sebatas pencintraan. Perlu diketahui oleh penggila bola di negeri “plekutus” ini. Tidak ada sepeser pun, uang negara masuk ke organisasi PSSI. Sekali lagi, ingat ! Tidak sepeser pun dana pembinaan masuk di PSSI. Seandainya ada, itu pun terkait dengan persiapan multi event, seperti SEA games, Asian Games dan Olimpiade.  

Perlu diingatkan, bahwa, semua dana yang pernah dikucurkan untuk PSSI lewat KONI dan Menpora RI, tidak pernah mencukupi standar PSSI, AFC dan FIFA dalam membentuk tim nasional. Bahkan, dana Asian Games 2018 lalu, untuk tim nasional Indonesia, dikembalikan oleh PSSI, karena memang tidak cukup. Biarlah PSSI cari dana sendiri. Apakah dana Menpora ke PSSI harus dipublikasikan, agar lembaga negara ini dipermalukan? 

KETIGA : Mengapa Qatar bisa melejit? 

Karena, negara Qatar langsung terjun ikut bahu-membahu membangun sepak bola Qatar, untuk infrastruktur dan tentunya membangun pembinaan. Pelatih Qatar, Félix Sánchez tidak datang setahun dua tahun lalu. Namun, lewat negara dan PSSI-nya Qatar, sudah merancang dan mempersiapkan, sistem pembinaan gaya Spanyol, sudah 15 tahun lalu, lewat anak-anak usia 15 tahun. Hasilnya, Qatar kini sangat menakutkan.

Félix Sánchez, sudah diberi otoritas secara independent jangka panjang oleh perintah raja Qatar. Bernama Aspire Academy (Bahasa Arab: أكاديمية أسباير). Akādīmiyat 'Asbāyr) adalah akademi olah raga yang berbasis di Aspire Zone di Qatar, yang didirikan 2004, dengan tujuan utamanya, mencari dan mengembangkan sepak bola Qatar. 

Bagi saya, ini adalah “mercu suar” akademi sepak bola, yang didirikan langsung oleh sang raja, sebagai lembaga independen, yang didanai pemerintah, serta dilaporkan langsung ke Emir Sheikh Hamad Bin Khalifa Al-Thani, melalui Pewaris Senjata Syekh Tamim Bin Hamad Al-Thani. 

Jokowi saatnya menyapa, dan meniru cara-cara negara Qatar. Karena, sepak bola tanpa disapa oleh negera, sampai kapan pun, akan jalan ditempat. Namun, kalau negara mau terlibat langsung, menurunkan dana untuk infrastruktur dan pembinaan. Maka, World Cup 2034, dengan terobosan anyar dari FIFA, yaitu menyertakan 48 negara pesertanya, sepertinya bukan mimpi. 

Hanya satu cara, Indonesia bisa bergaul dalam event internasional, jika negara dan presidennya menyapa dan menurunkan egonya, untuk membenahi sepak bola nasional. Tanpa negara ikut campur dan melakukan aksi. Maka, hasilnya 100 juta penggemar bola fanatik Indonesia, hanya dikenal sebatas sebagai penonton doang. 

Sekali lagi, kalau negara tidak mau menyapa dan sowan ke PSSI, jangan harap PSSI punya prestasi. Bahkan, selama negara dengan segenap aparatnya, mau ikut campur dengan cara-cara membangun image, seolah-olah peduli, dengan membentuk Satgas Mafia Bola, maka PSSI tetap akan melawan. Padahal, permainan sepak bola itu seksi banget. Penggemarnya 3 miliar di muka bumi ini.  

Selamat ke-89 HUT PSSI, 19 April 1930 – 2019.