Cegah Tenaga Kerja Asing Ilegal, Ini Masukan LIPI

By Admin

Foto/Ilustrasi  

nusakini.com - Terbukanya kran penanaman modal asing (PMA) memang membawa konsekuensi, yakni meningkatkan arus masuk tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. Pada satu sisi, keberadaan TKA membuka peluang terciptanya proses transfer pengetahuan dan teknologi. Namun di sisi lain, lemahnya aturan membuka kesempatan bagi adanya TKA ilegal.

Untuk menanggulangi sisi negatif TKA ilegal ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberi masukan kepada pemerintah beberapa langkah untuk mencegahnya. Salah satunya dengan menutup celah aturan yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) yang berlaku saat ini. Misalnya adalah perubahan Permenaker No. 12 Tahun 2013 menjadi Permenaker No. 16 Tahun 2015 dan diubah lagi menjadi Permenaker No. 35 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permenaker No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.

“Perubahan tersebut cenderung melonggarkan penggunaan TKA, khususnya dilihat dari penghapusan mengenai syarat dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d, Permenaker No. 12 Tahun 2013,” tutur Devi Astuti, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dalam acara Media Briefing Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia di Media Center LIPI Jakarta, Kamis (13/7). Syarat bahasa dalam Permenaker terbaru itu sudah dihilangkan.

Syarat lain yang juga dihapus dalam aturan Permenaker teranyar adalah penghapusan rasio jumlah TKA dengan Tenaga Kerja Lokal. Pada aturan sebelumnya pasal 3 Permenaker Nomor No. 16 Tahun 2015 masih mencantumkan satu orang TKA menyerap 10 tenaga kerja lokal.

Menurut Devi, penghapusan pasal 3 tersebut berdampak terhadap berkurangnya peluang penciptaan kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal sejalan dengan penggunaan TKA. “Dikhawatirkan akan semakin banyak TKA yang masuk dan melakukan pelanggaran, jadi sebaiknya perturan tersebut direvisi ulang dan pasal terkait rasio dikembalikan,” tutur Devi.

Tak hanya aturan-aturan yang perlu direvisi, pemerintah juga perlu mengaji ulang aturan adanya visa bebas untuk 169 negara yang juga membawa berbagai dampak. “Peninjauan kembali sangat diperlukan terkait Kebijakan Bebas Visa Kunjungan terhadap 169 negara dalam Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2016 dengan memperhatikan dampak terhadap berbagai aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan,” imbuh Devi.

 Minim Pengawasan

Di sisi lain saat ini, tingginya intensitas penggunaan TKA dalam proyek investasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menyebabkan meningkatnya TKA ilegal asal RRT. “Hal ini juga didukung oleh data pelanggaran keimigrasian pada 2016, pelanggaran paling banyak berasal dari RRT yang angkanya mencapai 24% dari total pelanggaran 7.787 orang,” jelas Devi.

Untuk mengatasi permasalahan itu, selain memperbaiki sisi aturan, maka perlu tenaga pengawas yang jumlahnya proporsional. Sayangnya, ketersediaan tenaga pengawas menjadi salah satu kendala dalam pengawasan TKA. Tenaga pengawas saat ini masih minim.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja Tahun 2017, pengawas TKA berjumlah 2.294 orang, dimana jumlah itu untuk mengawasi sebanyak 216.547 perusahaan. Padahal, idealnya satu pengawas mengawasi lima perusahaan. “Kementerian tenaga kerja perlu menambah jumlah sumber daya manusia (SDM) pengawas serta mendistribusikannya sesuai dengan proporsi keberadaan tenaga kerja asing di daerah, dan menempatkan tenaga pengawas pada kantor dinas tenaga kerja sampai ke tingkat kecamatan,” terang Devi.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Kementerian Tenaga Kerja, Rihad Purba mengungkapkan, pihaknya telah membentuk Kader Norma Ketenagakerjaan (KNK) di perusahaan-perusahaan. “Ini tentu saja untuk menutupi kekurangan jumlah pengawas yang sudah ada, dengan mengandalkan pengurus serikat ataupun pegawai perusahaan,” ujarnya.

Rihad melanjutkan, sejumlah peraturan juga terus ditegakkan guna meminimalisir persoalan TKA. “TKA harus punya sponsor di Indonesia. Mereka tidak boleh mengurus personalia dan hanya diperbolehkan untuk menduduki satu jabatan, kecuali direksi dan komisaris,” ungkapnya. Selain itu, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap adanya transfer teknologi dari TKA ke tenaga kerja lokal, pungkas Rihad. (p/ma)