Cegah Perlambatan Ekonomi, Industri Hulu Perlu Digenjot

By Admin

nusakini.com--Pemerintah terus menggenjot sektor industri agar bisa mandiri dengan memperkuat sektor hilir, mengingat ketergantungan Indonesia akan impor masih tinggi, sehingga menahan laju pertumbuhan ekonomi. 

  “Ada kelemahan mendasar ekonomi sejak puluhan tahun lalu, yakni setiap kali pertumbuhan besar, atau mulai menyentuh 7 persen, selalu terjadi defisit transaksi berjalan cukup signifikan. Dahulu di zaman Orde Baru disebut kepanasan mesinnya. Sekarang setelah dipelajari sumbernya, yakni karena kita tidak punya jalur industri dasar dengan turunannya,” ujar Menko Perekonomian, Darmin Nasution dalam seminar “Prospek Ekonomi Indonesia 2017: Memetakan Sektor-sektor Unggulan” di Jakarta, Senin (19/12). 

  Darmin mengatakan, pemerintah memberi perhatian serius pada industri suku cadang kendaraan, minyak dan gas, termasuk kilang dan petrokimia, untuk dibangun di dalam negeri. Selain itu, mendorong industri dasar lain dengan turunannya, seperti farmasi, mengingat pemerintah mengucurkan dana besar-besaran untuk jaminan kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. 

  “Jadi, aneh kalau kita tidak bisa mengembangkan industri ini, justru lebih memilih impor. Itu bukan hanya tidak cerdas, tetapi bodoh. Makanya, jalur ini harus kita kembangkan,” tegasnya. 

  Untuk itu, Darmin menuturkan, pemerintah membuka daftar negatif investasi (DNI) bahan baku obat hingga 100 persen. Harapannya, pelaku usaha di Indonesia tidak hanya bisa masuk ke industri hilir, namun juga ke hulu. Seperti diketahui, industri farmasi sejak berabad-abad dikuasai oleh Eropa. India kini mulai menonjol di industri tersebut, diikuti Tiongkok. 

  “Makanya kemarin Presiden bawa rombongan ke India. Salah satu yang dibicarakan kapan ke Indonesia (seperti India, Red), sehingga kita bisa mendorong harga obat lebih murah lagi. Sekarang generiknya murah, tetapi bisa lebih murah, kalau hulunya ada di Indonesia,” jelasnya. 

  Industri lain yang perlu dikembangkan, kata Darmin, adalah sektor besi dan baja. Indonesia kini tengah membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) dengan transmisi sepanjang 35.000 kilometer.  

  “Itu tinggal pasang, yang susah narik kabelnya. Tetapi, kalau kita tak bisa kembangkan industri besi dan bajanya, kita akan terus impor untuk bangun transmisinya. Sama dengan pabrik obat dan jalur distribusinya. Kita juga punya sumber alam melimpah, seperti minyak dan gas. Ada jalur industri besar yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi impornya meledak karena kita tidak punya jalur besar itu,” ucapnya. 

  Darmin mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah dalam dua tahun ini cukup memberikan harapan agar tak terseret dalam perlambatan ekonomi dunia, meski tidak spektakuler. 

  "Yang tadinya mulai melambat di 2014, tetapi di awal 2015 mulai naik, begitu juga di 2016," kata Darmin. 

  Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 4,9 persen, kuartal II sebesar 5,2 persen, dan kuartal III sebesar 5,02 persen. "Sudah cukup baik bila dibandingkan negara lain. Di kuartal tiga melambat karena dipengaruhi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang kurang kondusif. Jika bisa diperbaiki APBN-nya, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas itu," katanya. 

  Di sisi neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan terhadap gross domestic product (GDP) yang tadinya mengkhawatirkan sekarang sudah mulai membaik dan mengecil. Laju inflasi juga sudah bisa dikendalikan. Namun diakuinya di tahun depan akan ada tantangan inflasi mengingat tarif listrik industri dan bahan bakar minyak (BBM) akan naik. 

  “Oleh karena itu, di tahun 2017 akan sangat krusial, karena tarif industri akan naik, BBM naik. Maka, konsekuensinya tingkat bunga akan kena tekanan juga. Makanya di tahun 2017 yang harus disiapkan pemerintah tahun depan adalah kendalikan harga pangan. Kalau tidak, maka inflasi bisa di atas 4 persen,” ujar Darmin. (p/ab)