BMKG: Tanda Malapetaka Bakal Intai Indonesia Sudah Muncul

By Admin


JAKARTA - Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara agraris ternyata juga berpotensi adanya ancaman pangan. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut, kerentanan gangguan pangan salah satunya disebabkan oleh kekurangan air.

Dwikorita menjelaskan, kekeringan terjadi karena adanya kenaikan suhu permukaan bumi. Apalagi, sepanjang tahun 2023 ini, rekor suhu maksimum terpanas berulang kali pecah rekor. Bahkan, suhu pada bulan Juli 2023 jadi bulan Juli terpanas dibandingkan bulan Juli sebelumnya.

Dia menjelaskan, mulai tahun 1850-an terjadi kenaikan temperatur global, dipicu semakin berkembangnya pertumbuhan industri. Di mana, jelang tahun 1980-an, terjadi lonjakan suhu secara signifikan.

"Terjadi kenaikan suhu hingga tahun 2023 sebesar kurang lebih sebesar 1,2 derajat Celcius dibandingkan di masa sebelum revolusi industri. Dan 8 tahun terakhir ini tercatat merupakan rekor terpanas sepanjang sejarah," kata Dwikorita dalam tayangan akun Youtube Komisi V DPR, dikutip Jumat (10/11/2023).

"Kenaikan suhu memang global, meski di Indonesia belum sebesar yang lain. Ini karena luas laut jauh lebih besar dari luas daratnya, sehingga berperan sebagai pendingin," tambahnya.

Akibat lonjakan suhu bumi itu, kata Dwikorita, terjadi global water hotspot atau kekeringan. kekurangan air yang terjadi secara global. Dan akan berlangsung ke beberapa waktu ke depan.

"Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan," ungkap Dwikorita.

Indikator tekanan ketahanan pangan, lanjutnya, menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam.

"Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange)," kata Dwikorita.

"Dan kita akan kesulitan impor karena negara-negara penghasil pangan pun malah mengalami kekeringan lebih parah," ujarnya.

Dwikorita memaparkan, hasil pantauan BMKG, penyebab perubahan iklim yang ditandai dengan lonjakan suhu bumi tersebut yang ditunjukkan konsentrasi CO2 yang diukur di GAW Kototabang, termonitor konsentrasi CO2 sejak tahun 2004 yang semakin melompat hingga tahun 2023 ini.

Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm.

"Padahal, bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa di bayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 di kota pun sudah melompat. Hal ini mengakibatkan selubung gas rumah kaca di atmosfer," terangnya.

"Selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca," jelas Dwikorita.

Akibatnya, sejumlah efek diprediksi akan melanda bumi, termasuk Indonesia.

"Itu lah kondisinya. Dampaknya, es puncak Jayawijaya diprediksi akan punah tahun 2025. Dan, cuaca ekstrem semakin sering terjadi," ungkapnya.

"Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil," pungkas Dwikorita. (*)