Berkaca di Cermin Retak, Sebuah Fenomena dalam Demokrasi

By Abdi Satria


Oleh : M. Ridha Rasyid 

(Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)


nusakini.com-Makassar-Donald Trump adalah agitator andal yang berhasil mengalahkan lawannya, Hillary Clinton. Saat itu, semua hasil survey dan jajak pendapat memenangkan Hillary. Tetapi, dengan segala macam issue sensitif yang di lontarkan Donald Trump dan timnya, berhasil memporak-porandakan kubu kompetitornya.

Puncaknya, ketika masalah surat elektronik pribadi Hillary dengan amat sangat gamblang dan kasar dituduhnya telah melakukan tindakan yang dapat membahayakan keamanan negara. Akhirnya, ia berhasil menjadi presiden Amerika Serikat yang paling kontroversial sepanjang sejarah praktek demokrasi di sana.

Apa yang dapat di tarik dari "fenomena Trump" itu? Pertama, bahwa setiap orang punya cara menjatuhkan lawannya, betapapun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Yang terpenting adalah jatuhkan dan menangkan dengan cara apapun. Kedua, kekasaran kata dan kalimat, fitnah, sebar berita bohong dan menjelekkan lawan merupakan cara paling ampuh untuk "melumpuhkan" saingannya.

Ketiga, tim sukses punya peran utama dalam mempersiapkan bahan hasutan yang ingin dijadikan tema kampanye, dengan mengenyampingkan akal sehat. Keempat, bahwa dengan "kebenaran semu" yang dimilikinya untuk menuduh orang atas apa yang selama ini ia sendiri lakukan untuk ditujukan ke pihak lainnya yang mencoba membangun kekuatan melawan dirinya.

Ke lima, dengan bekerjasama dengan sejumlah media cetak dan elektronik untuk menyebarkan asumsi pikirannya, bahwa ia merasa di aniaya dengan kekuatan di luar dirinya itu agar memperoleh simpati dari konstituen.

Dari apa yang mengemuka di atas, karakter calon seperti Donald Trump ini, kemudian menggejala di beberapa negara di dunia. Bahkan menjadi salah satu model kampanye yang sengaja "disenandungkan" oleh para pegiat agitasi politik.

Dahulu, di zaman pra sejarah, sudah dikenali cara seperti ini walupun dengan narasi sederhana, yang berujung pada perkelahian bahkan pembunuhan. Seiring dengan perkembangan pendidikan dan moralitas yang semakin baik, cara ini ditinggalkan. Kira kira abad pertengahan kembali lagi dengan teori Machiavelli, halalkan segala cara untuk merengkuh kekuasaan kembali marak di praktekkan. Walaupun tidak secara masif teraplikasikan, namun itu menjadi salah satu model yang banyak dilakukan oleh mereka yang "haus" kekuasaan. 

Di Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka, selama kurun waktu tujuh dekade, cara cara agitasi terkonfirmasi dilakukan sejak kekuasaan orde baru. Artinya, demokrasi "ala-kadarnya" atau dalam istilah ilmuwati politik Indonesia, Miriam Budiardjo, demokrasi ala Indonesia, ini banyak dipengaruhi oleh rembesan cara yang ada dibelahan negara lain. Kita tidak punya patron politik yang membumi. Kita banyak mengadopsi dan mereplikasi cara yang ada di negara negara barat.

Kita kurang menelisik lebih dalam dari praktek praktek politik yang pernah tumbuh di zaman keemasan kerajaan kerajaan besar yang ada di bumi nusantara. Oreintasi politik dan demokrasi, meskipun tumbuh dan berpengaruh di negara negara Eropa dan Amerika , namun sesungguhnya kita juga punya pengalaman intrinsik di masa lalu yang menarik. Di mana, agitasi itu sesuatu yang "haram" tersampaikan kepada lawan politik. 

Sehingga adabul politik di masa itu sangat menghormati dan saling bekerjasama, walaupun dia menjadi kompetitornya. Betapa tidak, karena waktu itu, kekuasaan keluarga besar di suatu daerah tidak menjadi saingan. Justru mereka kerja bersama. Yang terdepan bagi mereka adalah kekeluargaan yang sangat kuat.

Pilwalkot Makassar 2020

Mengapa judul di atas, menjadi fokus dari tulisan ini, fenomena Trump itu sudah muncul juga di Kota Makassar dalam tiga tahun terakhir. Mulai dari pilkada 2017/2018 dan pertengahan 2019, kita menyaksikan mulai dari masa sosialisasi hingga kemenangan kotak kosong, sangat sarat dengan ucapan ucapan kasar dan fitnah yang berseliweran, tidak oleh lawan politik petahana, juga petahana nya ikut terlena dengan cara itu.

Agitasi menjadi sebuah model yang diakui ampuh dalam membuat pihak lawan gundah-gulana bahkan jika lawan tidak punya serep kekuatan lain bisa saja dia "stroke" atau paling tidak depresif. Ibarat orang yang berkaca di cermin retak, melihat dirinya terpilah dan tidak beraturan gambar wajah dan gesture dari pantulan sudut cahaya. Dalam istilah psiko-analisa disebutkan keraguan diri berlebihan yang lalu diekspresikan seolah olah merasa dirinya dianiaya dan dibohongi.

Padahal, sesungguhnya kekhawatiran itu sendiri merupakan karakter dirinya sendiri tanpa dia sadari. Dalam bahasa yang lebih lugas, bahwa orang seperti ini, berbicara lebih banyak untuk mengungkap karakter dirinya dengan mengasosiasikan kepada orang lain, bahwa dia "disakiti" oleh orang lain, padahal orang dimaksud itu tidak pernah ada. Mengapa? Karena deskripsi negatif yang seolah dilakukan orang lain untuk dirinya itu, karena sebelumnya dia "kerap" melakukan hal seperti itu.

Halusinasi diri seperti ini menunjukkan adanya gejala kejiwaan yang sangat berbahaya jika dia berkuasa. Bisa bisa menganggap dirinya sebagai pemilik kekuasaan. Dia tidak merasa di atur, karena yang ada dipikirkannya bahwa dengan kekuasaan yang ada padanya, akhirnya menganggap dirinya sebagai peraturan.

So, dia tidak butuh peraturan apatahlagi di atur. Gejala kejiwaan akut seperti ini sulit untuk disembuhkan. Karena itu sudah menjadi perilaku. Itu salah satu output berkaca di cermin retak. Sesungguhnya kaca itu memantulkan keadaan yang sebenarnya. Apapun yang ditampilkan di depannya, akan mengeluarkan hasil yang sama dengan aslinya. Kaca media bercermin itu, dimaknakan sebagai sebuah ilustrasi keadaan diri untuk diaplikasikan dalam tindakan dan perilaku.

Oleh karenanya, hendaklah seorang calon pemimpin untuk mengevaluasi diri pada dua sisi baik dan buruk. Dominasi kebaikan tentu, menjadi harapan rakyat, pada saat yang sama, dia juga mencoba รจ berkaca di cermin retak, untuk memastikan bahwa betapa gambar yang keluar itu rusak, tetapi justru kerusakan yang ada menjadi pelajaran, jadi modal komitmen untuk tidak sama dengan hasil gambar itu.

Sebabnya, cermin itu adalah wadah untuk kita berkaca, melihat sisi yang utuh dari diri kita, seraya mengevaluasi setiap pernyataan atau ungkapan yang kita sampaikan. Orang yang berhasil berkaca di cermin retak akan tahu, bahwa dirinya tergantung dari cara pandang orang menilai.

Keragaman pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan tujuan orang terhadap diri kita, seyogyanya kita bisa menampilkan diri serta gaya bertutur yang dapat diterima oleh lebih banyak orang. Jangan melihat keretakan gambar atau hasil akan diri kita pada cermin retak itu, tetapi mengambil sisi positif akan tampilan tersebut. Bahwa tidak tergantung pada ilustrasi, tetapi pada apa yang dapat kita berikan kepada rakyat

Kesimpulan

Berkaca di cermin retak, bukanlah sekedar kalimat tanpa arti. Bukanlah kata kiasan yang bisa kita lewatkan, karena sejatinya, berkaca itu menjadi evaluasi. Baik buruk pantulan gambaran kita jadikan pelajaran berharga untuk menata diri. Yang sangat berbahaya jika ia berkaca di cermin retak dengan segala hasil yang ditimbulkan, namun kita tidak mendapatkan hikmah apa apa atas apa yang kita lihat. Ini namanya "ndablek"